Semiotika dalam Desain Komunikasi Visual


Ilmu Grafis Komvis Teori Semiotika dalam Desain Komunikasi Visual mengacu pada Roland Barthes sebagai panduan berkomunikasi secara visual melalui semiologi. Semilogi atau semiotik selain dipakai sebagai alat komunikasi secara visual yang dipahami oleh masyarakat. Dalam artikel ini kita akan mempelajari bagaimana cara Menemukan makna teks Desain Komunikasi Visual.
Semiotik secara etimologi berasal dari kata Yunani semeion yang berarti ”tanda”. Secara terminologi semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu merupakan bentuk dari tanda- tanda. Semiotik juga mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti.
Semiotika moderen mempunyai dua orang pelopor, yaitu Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure. Pierce mengusulkan kata semiotika untuk bidang penelaahan ini, sedangkan Saussure memakai kata semiologi. Sebenarnya kata semiotika tersebut telah digunakan oleh para ahli filsafat Jerman bernama Lambert pada abad XVIII.
Roland Barthes adalah orang pertama kali yang menyusun model skematik untuk menganalisis negoisasi dan gagasan makna interaktif antara pembaca, penulis dan teks. Ketika Saussure menekankan pada teks semata, Barthes menekankan pada cara tanda-tanda di dalam teks berinteraksi dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya dan memperhatikan konvensi pada teks yang berinteraksi dengan konvensi yang dialami. Dan inti teori Barthes adalah gagasan tentang dua tatanan pertandaan (order of signification).
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya dalam tanda adalah peran pembaca (the reader). Dalam Mithologies-nya (1983) secara tegas ia membedakan antara denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama dengan sistem pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya, sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif Roland Barthes sangat terpengaruh dengan Saussure dengan semiologi yang kental dengan inspirasi linguistik.
Dari peta Barthes dapat digambarkan bahwa tanda denotatif terdiri dari atas penanda (signifier) dan petanda (signified), akan tetapi pada saat bersamaan tanda denotatif adalah juga penanda konotatif. Denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Sedangkan konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ’mitos’ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda pada sistem pemaknaan tataran kedua.
Gambar Semiologi Roland Barthes
Pada tingkatan pertama (Language) Barthes meperkenalkan signifier (1) dan signified (2), yang gabungan keduanya menghasilkan sign (3) pada tingkatan pertama. Pada tingkatan kedua, sign (3) kembali menjadi SIGNIFIER (I) dan digabungkan dengan SIGNIFIED (II) dan menjadi SIGN (III). Sign yang ada ditingkatan ke dua inilah yang berupa MYTH (mitos) disebut juga sebagai metalanguage.
Di sini dapat dikatakan bahwa Makna denotatif adalah makna yang digunakan untuk mendeskripsikan makna definisional, literal, gamblang atau common sense dari sebuah tanda. Makna konotatif mengacu pada asosiasi-asosiasi budaya sosial dan personal berupa ideologis, emosional dan lain sebagainya.
Gambar Semiologi Roland Barthes
Barthes mencontohkan istilah “mawar”. Sebagai signifier adalah kata “mawar” itu sendiri (citra suara). Berfungsi sebagai signified adalah objeknya (bentuknya) “wujud bunga mawar” sebagai konsep (mental). Ketika kedua hal tersebut digabungkan akan terwujud sign (1), yaitu “mawar” sebagai entitas kongkrit. Dan mawar sebagai entitas kongkrit, ketika dikaitkan atau dikonotasikan secara arbitrer dengan hasrat (passion) akan menghasilkan SIGN (III) yang berarati sudah menjadi mitos. secara sederhana pada sign (3) mengandung makna denotatif dan pada SIGN (III) mengandung makna konotatif.
Barthes dalam menjelaskan membaca teks ”visual” menggunakan contoh seorang negro yang memberi hormat pada sampul majalah Paris Match. Di situ digambarkan seorang bocah negro dengan seragam khas Perancis sedang berdiri memberi hormat dengan latar belakang bendera kebangsaan Perancis.
Gambar Sampul majalah Paris Match
Pada semiologi tingkat pertama, gambar majalah itu tidak mengandung penafsiran apapun kecuali sebatas yang terlihat, yaitu bocah negro yang atribut seragam Perancis yang tengah memberi hormat pada bendera Perancis. Penghormatan itu layak dilakukan, karena perancis adalah sebuah negara besar, bahwa semua yang berada dalam naungannya adalah anak-anak ibu pertiwi, tanpa diskriminasi dan warna kulit. Tetapi pada semiologi tingkat dua memiliki penafsiran seorang yang memberi hormat kepada bendera Perancis tersebut tidak sekedar memberi hormat akan tetapi ada makna-makna lain di balik itu.
Misalnya saja mengapa anak negro yang dipilih? Mengapa dia memakai atribut khas Perancis, mengapa sorot mata agak ke atas? Semua itu jeli ditafsirkan oleh Roland Barthes dengan mengaitkan berbagai fakta penunjang. Seperti misalnya situasi politik masa itu, di mana Perancis tengah mengalami konfrontasi dengan atau tepat di tengah menjajah Aljazair, yang notabene adalah warganya kulit hitam.
Sementara perlawanan Aljazair telah berujung pada kemenangan. Sementara itu telah menunjukan realitas bahwa Perancis adalah salah satu negara imprealis penjajah yang wilayah negeri jajahannya sebagian besar adalah kulit hitam. Frustasi yang tersembunyi dari Perancis, ” dilipur” dengan visusalisasi sampul majalah Paris Match, yang sebenarnya hanyalah mitos tentang keagungan imprealitas Perancis.
Mengakhiri paparannya, Barthes menegaskan bahwa mitos adalah sarana mendistorsikan fakta sehingga masyarakat akan menerima begitu saja tanpa perlawanan. Inilah yang diinginkan oleh apa yang disebut oleh Barthes dengan norma-norma borjuisi khas milik ideologi kapitalisme. Maka mitosisasi adalah bungkus yang dibutuhkan, dikekalkan, diperkuat mendukung sistem maenstrem modern secara ideologis. Disinilah barthes menunjukkan ketika kebudayaan mewujudkan dirinya di dalam teks-teks, maka ideologi pun mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang merembes masuk ke dalam teks dalam bentuk penanda-penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut pandang dan lain-lain.
Dan dibalik penanda-penanda yang ada ideologi memerankan sebuah kontruksi budaya yang terwujud dalam karya-karya DKV sebagai bentuk dari komunikasi masa yang sangat dipengaruhi sistem sosial ekonomi bahkan politik sebuah masyarakat. Mengakhiri artikel kali ini penulis ingin mengutip sebuah tuliasan dari Yasraf Amir Piliang dalm bukunya Dunia Yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Jalasutra, Yogyakarta, 2004, hlm. 327, menyatakan bahwa Tugas seorang cendekiawan justru adalah menjadikan semiotika sebagai suatu metode untuk menegakkan yang hak dan mendekonntruksi yang bathil.
Sehingga sebuah alat atau ilmu bagi cendekiawan merupakan sebuah bentuk pertanggungjawaban intelektual yang harus memberikan kontribusi positif bagi terciptanya budaya yang manusiawi sesuai kodrat manusia sebagai makhluk berakal yang diciptakan Tuhan.

Catatan:

Ideologi sendiri secara etimologis berasal dari bahasa Greek, terdiri atas kata idea dan logia. Idea bersal dari kata idein yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s New Collogiate Dictionary berarti ” something existing in the mind as the result of the formulation of an opinion, a plan or the like” (sesuatu yang ada dalam pikiran sebagai hasil dari perumusan sesuatu pemikiran atau rencana). Sedangkan logis bersal dari kata logos yang berarti word. Kata ini berasal dari kata legein yang berarti to speak (berbicara). Selanjunya kata logia berarti science (pengetahuan) atau teori.
Jadi menurut arti kata pengucapan dari yang terlihat atau pengutaraan apa yang terumus dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran (Sukarna, 1981:1)1 Meminjam pandangan filosof matrealis (komunis) Marx mengatakan ideologi adalah kesadaran palsu; kesadaran yang mengacu pada nilai-nilai moral tertinggi dengan sekaligus menutup kenyataan bahwa di belakang nilai-nlai luhur tersembunyilah kepentingan-kepentingan egois kelas-kelas berkuasa. Jadi ideologi sebagai teori yang menunjang kepentingan yang tidak dapat dilegetimasi secara wajar.
Daftar Pustaka
  1. Amir Piliang, Yasraf, ,Hiper Semiotika : Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta, 2003
  2. Amir Piliang, Yasraf, Dunia Yang Dilipat tamasya melampaui batas-batas kebudayaan, Jalasutra, Yogyakarta, 2004.
  3. Barthes, Roland, S/Z. Penerjemah Richard Miller. New York: Hill and Wang 1974
  4. Budiman, Kris, Semiotika Visual, Yogyakarta, Buku Baik dan Yayasan Seni Cemeti, 2004.
  5. Fiske, John, Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Komprehensif, Jalasutra, Yogyakarta, 2006.
  6. Sobur, Alex , Analisis Teks Media Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, Dan Analisis Framing, PT. Remaja Rosda Karya Offset, Bandung, 2006.
  7. Tinarbuko, Sumbo, Semiotika Komunikasi Visual, Jalasutra, Yogyakarta, 2008.
Sumber : http://azizmaany.com/index.php/artikel/seni-rupa/135-semiotika-dalam-desain-komunikasi-visual

Leave a Reply