Sejarah Desain Grafis Di Indonesia (Bagian 1)


Setelah membaca dari berbagai sumber tentang sejarah desain grafis di Indonesia, saya berniat untuk share kembali apa yang telah saya baca, ternyata geliat perkembangan desain di Indonesia di mulai pada tahun 1970, dimana pada saat itu telah terjadi peristiwa yang diberi nama Desember Hitam, peristiwa ini pecah di penghujung tahun 1974. Desember Hitam muncul karena adanya gelombang protes terhadap pemberian penghargaan pemerintah kepada lima pelukis, yang karyanya dikritisi sebagai bercorak ragam sama (seragam) yaitu dekoratif, dan lebih mengabdi kepada kepentingan ‘konsumtif’.

Gerakan Desember Hitam adalah awal terbentuknya gerakan seni rupa baru GSRB pada tahun 1975, GSRB memiliki pemahaman bahwa kesenian tidak harus dikategorikan menurut jenjang, ada kesenian kelas wahid dan ada kesenian kelas kambing. GSRB menolak batasan antara seni murni dan seni terap, dan semua fenomena kesenian termasuk desain pun dianggap sederajat. Sepanjang perjalanannya (1975-1979, 1987), eksponen GSRB yang juga desainer grafis tercatat antara lain FX Harsono, Syahrinur Prinka (1947-2004), Wagiono Sunarto, Priyanto Sunarto, Gendut Riyanto (1955-2003), Harris Purnama dan Oentarto.
Jiwa Semangat untuk tidak lagi mempercayai perjenjangan antara seni murni dan seni terap menghantar tiga desainer grafis mengabarkan eksistensinya melalui sebuah pameran desain grafis di Pusat Kebudayaan Belanda “Erasmus Huis” pada tanggal 16-24 Juni 1980. Pameran bertajuk “Pameran Rancangan Grafis Hanny, Gauri, Didit” ini kelak tercatat sebagai pameran desain grafis pertama di Indonesia yang diadakan oleh desainer grafis Indonesia.
pameran desaingrafis pertama, sumber: dgi indonesia
sumber: adgi indonesia
Organisasi desain grafis pertama di Indonesia, sepanjang tahun 1970 bermunculan perusahaan desain yang sepenuhnya dipimpin oleh desainer grafis, namun perbedaannya pada masa itu adalah biro-biro ini memfokuskan diri pada desain non-iklan dan semuanya berlokasi di Jakarta, berikut adalah beberapa biro desain tersebut  :
Vision (Karnadi Mardio), Grapik Grapos Indonesia (Wagiono Sunarto, Priyanto Sunarto, S Prinka), Citra Indonesia (Tjahjono Abdi, Hanny Kardinata) dan GUA Graphic (Gauri Nasution). Dan pada dekade berikutnya, di Jakarta muncul antara lain Gugus Grafis (FX Harsono, Gendut Riyanto), Polygon (Ade Rastiardi, Agoes Joesoef), Adwitya Alembana (Iwan Ramelan, Djodjo Gozali), Headline (Sita Subijakto), BD+A (Irvan Noe’man), dan di Bandung: Zee Studio (Iman Sujudi, Donny Rachmansjah), MD Grafik (Markoes Djajadiningrat), Studio “OK!” (Indarsjah Tirtawidjaja) dan lain-lain .
Pada tahun 1973 ada Decenta (Design Centre Association) di Bandung, yang terlibat AD Pirous, G Sidharta, Adrian Palar, Sunaryo, T Sutanto, Priyanto Sunarto. Saat itu ada pertentangan antara pandangan bahwa seni itu universal dengan pandangan seni yang digali dari bumi sendiri. Decenta menjadi tempat menggali khasanah Indonesia yang diterapkan dalam seni (grafis, lukis, patung) dan desain (pameran, elemen estetis, furnitur, curtain, greeting card, sampul buku). Pendekatannya formal atau total, formal melalui olahan artefak budaya, dan total melalui penghayatan terhadap spirit yang hidup dalam masyarakat tradisi. Meski bukan studio desain grafis, Decenta sudah melayani pekerjaan-pekerjaan desain grafis (walau masih sedikit).
Pertumbuhan usaha di bidang desain grafis serentak dengan perkembangan di bidang pendidikannya. Menyusul STSRI “ASRI” di Yogyakarta dan FSRD ITB di Bandung yang sudah ada terlebih dulu, pada tahun 1976 juga dibuka di LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta) dan kemudian di Universitas Trisakti pada tahun 1978.
Pameran IPGI ke-2 digelar pada tanggal 22-31 Agustus 1983 di Galeri Utama TIM, Jakarta dengan tajuk “Grafis ‘83”. Ini adalah untuk pertama kalinya – setelah 15 tahun berdiri – Dewan Kesenian Jakarta dan TIM (Taman Ismail Marzuki) menyelenggarakan sebuah pameran seni terap, yang secara tidak langsung merupakan pengakuan resmi otoritas kesenian atas desain grafis sebagai seni.
Selanjutnya bersama JAGDA (Japan Graphic Designer Association), IPGI pernah menyelenggarakan dua pameran besar, yaitu pada 9-15 Februari 1988 di Galeri Ancol, Pasar Seni Ancol, Jakarta yang dilanjutkan di Aula Timur ITB, Jalan Ganesha 10, Bandung, dan pada tahun 1989 berturut-turut di tiga kota: 23-30 Maret di Gedung Pameran Seni Rupa Depdikbud (sekarang Galeri Nasional) di jalan Merdeka Timur 14, Jakarta; 12-20 April di Yayasan Pusat Kebudayaan, jalan Naripan, Bandung dan 26 April-3 Mei di Kampus Institut Seni Indonesia (d/h STSRI “ASRI”) di jalan Gampingan, Yogya.
Selama perjalanannya, desainer yang aktif menggerakkan roda IPGI: Gauri Nasution, Hanny Kardinata (Bendahara), Karnadi Mardio (Wakil Ketua), Priyanto Sunarto, Sadjiroen, Syahrinur Prinka, Tjahjono Abdi, Wagiono Sunarto (Ketua), Yongky Safanayong.
Upaya menyejajarkan desain dengan cabang kesenirupaan yang lain, juga menjadi landasan kurasi “Jakarta Art & Design Expo ‘92” atau “JADEX‘92” yang digelar di Jakarta Design Center tanggal 25-30 September 1992. Untuk pertama kalinya semua cabang seni rupa – seni lukis, seni patung, seni grafis, seni serat, seni keramik, instalasi, desain interior, desain grafis, desain produk, desain tekstil, desain busana, desain aksesori, kria kayu, kria keramik dan kria bambu – ‘dipersatukan’ dalam sebuah pameran besar. “Sejauh ini, pengkajian kemungkinan persentuhan itu – khususnya melalui sebuah pameran – belum dilakukan.
Pameran-pameran yang diselenggarakan umumnya berkaitan dengan keutamaan masing-masing cabang seni rupa yang lalu lebih menunjukkan perbedaan. Pameran desain, mengutamakan aspek fungsi dan kaitannya dengan berbagai bidang usaha. Pameran lukisan, patung atau grafis, bila tak menekankan tujuan menjual, terlalu sibuk dengan apresiasi”.
Pada tanggal 7 Mei 1994 IPGI menyelenggarakan kongres pertamanya di Jakarta Design Center dimana berlangsung penggantian nama organisasi menjadi ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia). Pada saat itu dilakukan juga serah terima jabatan dari pengurus IPGI ke pengurus ADGI (Ketua: Iwan Ramelan, Sekretaris: Irvan Noe’man), pemilihan President Elect (Gauri Nasution), pengesahan AD/ART dan kode etik serta pengesahan Majelis Desain Grafis. [6]
Seirama dengan pembangunan yang sedang berjalan dengan pesat pada periode 90an, profesi desainer grafis pun semakin dikenal, demand masyarakat juga meningkat, dan didorong oleh faktor teknologi yang semakin canggih dan memudahkan (komputerisasi terjadi di masa ini), terjadilah pertumbuhan jumlah perusahaan desain grafis, di antaranya di Jakarta: LeBoYe (Hermawan Tanzil), MakkiMakki (Sakti Makki), Afterhours (Lans Brahmantyo), Avigra (Ardian Elkana), di Yogyakarta: Petakumpet (M Arief Budiman) dan di Bali: Matamera (Arief “Ayip” Budiman). Jenis pekerjaan hampir spesifik: brand/corporate identity, annual report, company profile, marketing brochure, packaging, calendar.
Setelah berpuluh-puluh tahun terbuai oleh pertumbuhan yang begitu mengagumkan, tahun 1998 ekonomi Indonesia mengalami kontraksi hebat. Krisis dengan cepat merambah ke semua sektor. Puluhan, bahkan ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat, bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau nota bene bangkrut. Perusahaan-perusahaan desain grafis pun tidak luput dari hantaman krisis ini, satu per satu ditutup karena sebagian besar klien mereka berasal dari sektor-sektor yang paling terpukul: perbankan, konstruksi dan manufaktur. Hanya studio kecil dengan dua atau tiga orang staf saja yang bisa bertahan karena overhead-nya kecil, studio besar yang mampu bertahan pun dipaksa memangkas drastis jumlah stafnya.
Di tengah kekosongan organisasi yang mewadahi profesi ini, pada awal tahun 2000 Forum Desainer Grafis Indonesia (FDGI) diwacanakan oleh 3 orang desainer yang juga pengajar desain grafis yaitu Hastjarjo B Wibowo, Mendiola Budi Wiryawan dan Arif PSA. FDGI diresmikan bersamaan dengan penyelenggaraan Pameran Poster “Melihat Indonesia Damai” tanggal 6-14 Juni 2003 di Bentara Budaya, Jakarta. Selanjutnya pada rapat kerja FDGI di Cibubur 11 Juli 2003 dihasilkan perubahan nama organisasi menjadi Forum Desain Grafis Indonesia (FDGI) dengan tujuan untuk menjangkau pemangku kepentingan di luar desainer grafis. Pada tanggal 7-11 September 2005 FDGI berhasil mengadakan pameran poster internasional “Light of Hope for Indonesia” di arena FGDexpo 2005.
bersambung  ke bagian 2
Source : http://www.ar7ikel.com/view-content-1-sejarah-desain-grafis-di-indonesia-part-1.html

Leave a Reply