GARIS WAKTU DESAIN GRAFIS INDONESIA – 1893 – 1945


1893

Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Percetakan Negara di Jakarta, pada waktu itu yang terbesar di Asia. Sementara itu di seluruh Indonesia sudah terdapat 6500 percetakan, 2700 di antaranya terdapat di Jakarta. Industri grafika dan dunia penerbitan di Indonesia pada waktu itu sudah mulai menyadari pentingnya desain grafis.

Laribu Meyoko, sekretaris Percetakan Negara: “Mengapa desain itu penting? Barang cetakan sama seperti manusia: penampilan lahiriahnya yang penting. Untuk memberi kesan yang baik, untuk menarik perhatian, untuk memberi kepercayaan. Desain grafis di Indonesia mempunyai masa depan gemilang.”

Sumber: Buku “Nederland Indonesia, 1945-1995, Suatu Pertalian Budaya”, [Z]OO produkties, Den Haag, 1995, hal. 165.

 

1938

Pada tahun 1938 berdiri PERSAGI (Persatuan Akhli Gambar Indonesia) di Jakarta dengan anggota kurang lebih tiga puluh pelukis (di antaranya Agus Djaja sebagai ketua, S. Sudjojono, Abdul Salam, Sumitro, Sudibio, Sukirno, Suromo, Surono, Setyosa, Herbert Hutagalung, Syoeaib, Emiria Sunasa, dan sejumlah seniman lainnya). Serikat ini sering dianggap sebagai awal seni rupa modern Indonesia.

Para pelukis PERSAGI berupaya membangun ‘gaya Indonesia baru’ yang dikembangkan dari paduan antara nilai estetik tradisi dan nilai estetik modern. Semasa kolonisasi Jepang di Indonesia, PERSAGI mendapat wadah yang bernama Keimin Bunka Shidoso (Pusat Kebudayaan Jepang) yang didirikan pada tahun 1943. Spirit yang dicanangkan Jepang untuk membangun ‘Kebudayaan Timur’ mendapat tanggapan postif, hal ini terbukti dari keterlibatan para pelukis dalam membina senilukis Indonesia, dan tokoh-tokohnya antara lain adalah S. Sudjojono, Agus Djaja, dan Affandi yang kemudian diikuti oleh sejumlah pelukis muda di antaranya Otto Djaja, Henk Ngantung, Hendra Gunawan, Djajengasmoro, Kartono Yudhokusumo, Kusnadi, Sudjana Kerton, Trubus, Baharuddin, dan sejumlah seniman lainnya.

Sumber: Budaya Visual Indonesia: Membaca Makna Perkembangan Gaya Visual Karya Desain di Indonesia Abad ke-20.

Dari atas ke bawah: Agus Djaja, S Sudjojono.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

1945

Poster “Boeng, ayo boeng!”

Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai – yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur – memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.

 

 

Ketika Republik Indonesia diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain “Merdeka atau mati!”. Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, 1 Juni 1945, “Lahirnya Pancasila”. Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster itu idenya dari Bung Karno, gambar orang yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Lalu kata-kata apa yang harus ditulis di poster itu? Kebetulan datang penyair Chairil Anwar (1922-1949). S Soedjojono menanyakan kepada Chairil, maka dengan ringan Chairil menyahut: “Bung, ayo bung!” Dan selesailah poster bersejarah itu. Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah. Darimanakah Chairil memungut kata-kata itu? Ternyata kata-kata itu biasa diucapkan pelacur-pelacur di Jakarta yang menawarkan dagangannya pada zaman itu.

Sumber: Affandi (1907-1990) – Maestro Seni Lukis Indonesia


Leave a Reply