GARIS WAKTU DESAIN GRAFIS INDONESIA – 1744


1744

Iklan pertama di Hindia Belanda: 17 Agustus 1744

Perintis tumbuhnya iklan di Hindia Belanda adalah Jan Pieterzoen Coen. Dia pendiri Batavia dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1619-1629. PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) mengakuinya sebagai tokoh periklanan pertama di Indonesia.

Dalam masa pemerintahannya, ia mengirim berita ke pemerintah setempat di Ambon dengan judul Memorie De Nouvelles, yang mana salinannya ditulis dengan tulisan tangan pada tahun 1621. Tulisan tangannya yang indah ternyata merupakan refleksi dari naluri bersaing antara pemerintah Hindia Belanda dengan Portugis. Kedua negara rupanya terlibat dalam perebutan hasil rempah-rempah dari kepulauan Ambon, dan Jan Pieterzoen Coen ‘menulis’ iklan untuk melawan aktivitas perdagangan oleh Portugis. Lebih dari satu abad kemudian, setelah Jan Pieterzoen Coen meninggal, tulisan tangannya diterbitkan kembali di surat kabar Batavia Nouvelles pada tanggal 17 Agustus 1744. Batavia Nouvelles merupakan surat kabar pertama di Hindia Belanda. Dengan demikian, iklan yang dimuatnya pun merupakan iklan pertama di Hindia Belanda. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa surat kabar dan iklan lahir tepat bersamaan di Hindia Belanda.

Yang berperan dalam memediakan kembali iklan tersebut di Hindia Belanda adalah karyawan sekretariat dari kantor Gubernur Jenderal Imhoff, Jourdans.

Surat kabar Batavia Nouvelles hanya berusia dua tahun.

Negeri Belanda, sejak abad ke-16 merupakan pusat penulisan silografi (tulisan tangan indah) di Eropa. Tulisan ini digunakan juga untuk penulisan iklan dalam bentuk poster.

Sumber: “Sejarah Periklanan Indonesia 1744-1984″, Bab I, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

INDUSTRI PERCETAKAN ABAD KE 18-20

Surat kabar yang pertama kali dicetak adalah De Bataviase Nouvelles terbit di Batavia pada tahun 1744, kemudian De Locomotief terbit pada tahun 1852 di Semarang danBataviassch Niewsblaad terbit di Batavia pada tahun 1885. Dunia persuratkabaran milik warga pribumi adalah Bromartani yang terbit di Surakarta pada tahun 1920-an. (Kartodirjo,1992:112-113)

Pada tahun 1776, setelah pelarangan penerbitan surat kabar De Bataviase Nouvellespada tanggal 20 November 1745, pemerintah kolonial memberi izin kepada L Dominicus seorang pakar dalam percetakan untuk menerbitkan mingguan yang diberi nama Het Vendu-Nieuws (Berita Lelang). Mingguan ini berisi berita lelang perusahaan-perusahaan perdagangan di bawah VOC. Sedangkan pemasangan iklan diluar perusahaan VOC dikenakan biaya. Mingguan ini bertahan terbit antara tahun 1776 hingga 1809. (Riyanto,2000:52-53)

Di abad ke-19, terbit beberapa surat kabar berbahasa Indonesia (Melayu) di antaranya ‘Soerat Kabar Bahasa Melajoe’ yang diterbitkan di Surabaya pada tahun 1861. Kemudian ‘Bintang Timoer surat kabar dua mingguan yang memuat pelbagai berita sosial-ekonomi. Kemudian di Semarang pada tahun 1860 terbit Selompret Melajoe of Semarang. Pada tahun 1883 para pengusaha Cina mulai terlibat usaha percetakan dan buku, terutama penerbitan buku terjemahan sastra Cina klasik yang kemudian berkembang menjadi komoditas percetakan yang semakin meluas.

Berkembangnya industri percetakan merupakan tahap penting dalam keterbukaan budaya, karena di dalamnya terdapat perluasan dan pelintasan komunikasi verbal maupun gambar. Rekaman melalui gambar dan penataan huruf di masa tersebut telah tampak sebagai bagian penting dari industri percetakan. Pada tahun 1919 telah tercatat 120 perusahaan yang mempekerjakan 3.080 orang di industri percetakan, sebagian di antara kegiatan industri tersebut adalah pekerjaan desain grafis. Tidak tercatat angka secara pasti berapa jumlah tenaga penata rupa surat kabar, buku, poster, dan produk cetak lainnya. Demikian pula jumlah ilustrator, perancang grafis dan fotografer. Selama pemerintahan kolonial, tercatat lebih 3000 seniman bangsa asing (Belanda, Jerman) yang dicatat dalam Lexicon of Foreign Artists Who Visualized Indonesia (1600-1950) dengan pelbagai bidang pekerjaan seni; di antaranya pelukis, peneliti seni, ilustrator cat air, juru gambar, pematung, ilustrator, pendesain grafis dan perupa produk industri. Sedangkan seniman bangsa Indonesia tidak dimasukkan ke dalam leksikon tersebut. Terlepas dari hal tersebut, fenomena itu menunjukkan bahwa kegiatan komunikasi cetak memiliki peran dan makna yang cukup penting dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian, dalam percaturan sejarah kebudayaan, perkembangan karya cetak sebagai bagian dari peradaban bangsa belum mendapat posisi yang penting.

Sumber: Pergeseran Nilai Estetis pada Desain Karya Cetak Indonesia di Abad ke 20 – Studi Historiografi pada Iklan Cetak dan Kulit Muka Buku oleh Agus Sachari

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Brosur-brosur pertama untuk “go public”

Pertumbuhan iklan di jaman Hindia Belanda, sangat dipengaruhi pula oleh masuknya modal swasta ke sektor perkebunan dan pertambangan pada tahun 1870. Karena perkembangan itu ternyata menumbuhkan kebutuhan baru, berupa pembentukan lembaga-lembaga penelitian untuk mengembangkan dan mengakumulasi modal mereka, seperti yang dilakukan oleh asosiasi perusahaan-perusahaan gula, Suikersyndicaat, misalnya. Asosiasi ini juga bertugas sebagai lembaga penelitian, dan sekaligus memproduksi pula brosur-brosur sebagai wahana informasi dan promosi. Dengan demikian, para calon penanam modal di perusahaan perkebunan mereka mengetahui seberapa jauh rentabilitas investasi mereka.

Javaasche Bank menggunakan barang-barang cetakan untuk mengundang modal asing ke Hindia Belanda. Brosur dan buklet perkenalan mereka umumnya dicetak di percetakan G.C.T. van Dorp & Co., yang berlokasi di Jakarta, Semarang dan Surabaya.

Sumber: “Sejarah Periklanan Indonesia 1744-1984″, Bab I, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.


Leave a Reply